v Asal Mula Angklung Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dar Tanah Sunda, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog . Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar. Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas. Penggunaan alat musik ini pada awalnya adalah digunakan untuk upacara yang berhubungan dengan padi dengan tujuan menghormati Nyai Sri Pohaci – Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip), yaitu mulai dari menanam padi di huma
(ladang), ngubaran pare (mengobati padi) sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi (Baduy / Kanekes), setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat (Banten Kidul), melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung) (Cipining- Cigedug – Bogor). Sesuai dengan perkembangan kesenian angklung digunakan untuk hiburan dan penyebaran agama Islam.
v Macam-macam Angklung Angklung Kanekes Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual. Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk. Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
Angklung Dogdog Lojor Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib. Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung Gubrag Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung Badeng Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.
Angklung Buncis Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi. Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis. Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis) Angklung Bungko (Indramayu) Angklung Ciusul (Banten) Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
v Tokoh Angklun
Yang dimaksud dengan angklung pada Surat Keputusan Mendikbud itu, ialah apa yang dikenal masyarakat dengan nama “Angklung Padaeng” yang bertangga nada diatonis kromatis. “Padaeng” ialah singkatan dari Bapak Daeng Soetigna yaitu orang yang menciptakan alat musik angklung bertangga nada diatonis kromatis.
Bapak Daeng Soetigna adalah seorang lulusan Kweekschool di Bandung (Sekolah Guru 4 tahun berbahasa Belanda), ketika itu menjabat sebagai guru HIS (SD 7 tahun berbahasa Belanda) di Kuningan Jawa Barat. Bapak Daeng Soetigna tidak saja telah berhasil memperkaya khasanah angklung tradisional (pelog dan salendro) dengan angklung bertangga nada diatonis kromatis, juga sangat berjasa di dalam pengembangannya menjadi perangkat alat musik modern yang meliputi nada-nada melodi yang menjangkau 3,5 oktaf dimulai dari nada G-besar sampai kepada nada C-bergaris 3, dilengkapi dengan 24 angklung akor atau chords, 12 buah dalam skala minor untuk mengiringi/mendukung angklung melodi.
Udjo Ngalagena (Alm)
Dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat perhatian pada masalah pendidikan anak anaknya, dengan nama Udjo. Ayahnya Mas Wiranta seorang yg pandai lagu2 sunda / mamaos agaknya sangat berperan besar akan ketertarikan udjo pada kesenian sunda. Perkenalan dengan musik angklung dimulai sejak umur 4 tahun. Lingkungan Udjo kecil saat itu memang masih kental dengan kebudayaan Sunda, angklung kerap kali digunakan sebagai pengantar upacara arak-arakan padi, acara pembuatan jembatan, sunatan dan lain lain. Saat itu kesenian tradisional pada umumnya berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat pendukungnya. Kepentingan ini bersifat ritual komunal, biasanya berkaitan dengan upacara kesuburan dan upacara inisiasi. Adapun upacara yang berkaitan dengan kesuburan seperti : Mapag Sri, ngareureus pare/ turun binih, ngidepkeun, bersih desa, dan upacara inisiasi seperti : Marhaban, khitanan, ruwatan.
Beliau belajar lagu lagu daerah sewaktu HIS partikelir kemudian setelah mengajar di Sekolah Pendidikan Guru belajar angklung Diatonis dari Daeng Soetigna. Selain yang telah disebutkan sebelumnya beliau juga belajar alat musik lain seperti kecapi dari Mang Koko dan gamelan dari Rd. Machyar Angga kusumadinata. Kemudian Udjo menggabungkan menjadi apa yang disebutnya “kaulinan urang lembur”. Selain tertarik pada kesenian yang terbuat dari bambu Udjo juga tertarik untuk memproduksi alat musik bambu dan belajar tentang bambu untuk memperoleh kualitas yang terbaik dari beberapa tempat, Tanjung sari – Sumedang, bahkan hingga ke Sukabumi. Selain itu Udjo juga mengartikan dari perkataan Daeng Soetigna (bambu yang bagus itu bambu yang digunakan untuk menjemur pakaian dan dapat dari mencuri, yang berarti harus kering dan tidak usah membeli) bahwa bambu yang baik digunakan untuk Angklung adalah bambu yang telah kering. Bambu yang biasa digunakan adalah Bambu hitam (Gigantochloa atter), bambu tali (Gigantochloa apus) dan bambu tutul (Banbusa vulgaris). Bambu berkualitas baik didapat dari daerah Surade dan Jampang Kulon – Sukabumi sedangkan rotan sebagai tali pengikat diperoleh dari sentra rotan Tegalwangi – Cirebon.
v Perawatan dan Setem Anglung
Berikut disampaikan sedikit tips untuk perawatan angklung secara umum:
Simpan angklung di tempat kering dan tidak terkena sinar matahari.
Sebaiknya menggunakan gantungan angklung saat tidak
dimainkan.
Jika angklungvterpelihara dengan baik dan kering, maka semakin lama usianya akan semakin baik kualitasnya.
Penanggulangan Kerusakan
Berikut disampaikan beberapa tips jika mengalami permasalahan dengan angklung :
Basah: Untuk menghindari angklung basah, maka sebaiknya dijemur di tempat yang tidak langsung terkena sinar matahari agar dapat kering tanpa mengalami pecah karena perbedaan suhu drastis.
Terkena Rayap: Hal ini dapat dihindari atau diatasi dengan cara melap atau menyemprot dengan obat pembasmi serangga ke dalam tabung angklung . Dengan sering melap tabung luar angklung juga dapat menghindarkan dari serangan rayap.
Tabung angklung Pecah: Untuk kasus tabung pecah sebaiknya diganti tabung baru melalui bengkel reparasi angklung. Namun demikian untuk solusi sementara dapat dilakukan dengan cara menempel tabung angklung yang pecah tersebut dengan perekat kayu/bambu sehingga untuk sementara tabung angklung dapat diselamatkan dan tidak menimbulkan pecah bunyi angklung sewaktu dimainkan
Setem (Penalaan) Nada angklung
Untuk mengatasi perbedaan nada yang tidak sama/berubah, sebagai langkah penyelamatan pertama dapat dilakukan hal sederhana sebagai berikut. (Sebagai catatan, setem nada dilakukan per tabung angklung. Sebagai contoh angklung melodi terdiri atas dua tabung, sehingga perlu dicek satu persatu tabung mana yang perlu disetem.)
1. Nada Terlalu Rendah (Meninggikan Nada)
Untuk meninggikan nada, dapat dilakukan dengan meraut pinggir atas tabung bagian dalam arah lingkar tabung dengan pisau raut, untuk kemudian tabungnya ditiup untuk dicek apakah nada tiupnya sudah sesuai dengan setemnya (misal alat musik lain, garpu tala atau alat setem lainnya.Selanjutnya tabung angklung terserbut dipukul pelan dan dicek. Jika nada pukulnya perlu ditinggikan, maka pinggir ujung atas tabung anhgklung dapat diraut untuk ditinggikan sampai nadanya sesuai.
2. Nada Terlalu Tinggi (Merendahkan Nada)
Untuk meninggikan nada, dapat dilakukan dengan menambah tinggi pinggir atas tabung bagian dalam arah lingkar tabung dengan menggunakan karton, untuk kemudian tabungnya ditiup untuk dicek apakah nada tiupnya sudah sesuai dengan setemnya (misal alat musik lain, garpu tala atau alat stem lainnya). Hal ini merupakan solusi sementara dn sebaiknya untuk solusi jangka panjang tabung ini harus diganti dengan tabung baru melalui bengkel reparasi angklung. Selanjutnya tabung angklung tersebut dipukul pelan dan dicek. Jika nada pukulnya perlu direndahkan, maka dapat diraut pinggir dalam tabung atas arah memanjang tabung untuk direndahkan sampai nadanya sesuai.
v Tempat pelatihan, pemain, serta produksi alat alat musik yang terbuat dari bambu dan tempat pertunjukan
Saung Angklung Udjo
Berawal dari sebuah rumah tinggal sederhana dengan pekarangan sempit yang digunakan sebagai tempat pertunjukan. Sedikit demi sedikit dari penghasilan sebagai guru di SPGCB dan usaha pembuatan alat musik angklung, calung dan arumba beliau membangun salah satu objek wisata yang penting di Jawa Barat. Saung yang berarti rumah kecil, pondok, dangau / gubuk sementara di sawah, sebagai tempat berteduh untuk menjaga tanaman. Adapun secara umum Saung
Angklung Udjo adalah sanggar tempat angklung milik Udjo membawa para pengunjung ke tempat yang berbeda dari kesibukan sehari-hari. Perintisan Saung Angklung dimulai oleh Bapak Udjo Ngalagena (alm) dan Ibu Uum Sumiyati (alm) beserta sepuluh putra-putrinya dimulai pada tahun 1958, untuk ikut melestarikan kesenian khas daerah Jawa Barat dengan mengandalkan semangat gotong royong sesama warga desa yang bertujuan melestarikan alam dan lingkungan.
Atas bantuan dan dorongan dari sang guru, Daeng Soetigna seorang tokoh angklung yang menemukan angklung diatonis dan bantuan dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, Saung Angklung Udjo resmi didirikan pada Januari 1967.
Saung Angklung Udjo adalah sanggar seni yang merupakan tempat pelatihan pelatih dan pemain, sentra produksi alat alat musik yang terbuat dari bambu dan tempat pertunjukan kesenian khas Jawa Barat. Mulai dari pertunjukan musik bambu
yang dinamis atraktif, pagelaran kesenian Jawa Barat seperti wayang golek, Rampak Kendang, Pencak silat, Sendratari, Drama Sunda, Tari Topeng khas Cirebonan, hingga kegiatan pengrajin memproduksi barang kerajinan khas dan alat alat musik bambu.
Kesenian Angklung dapat menumbuhkan nilai-nilai positif dalam pembangunan karakter individu, seperti kerjasama, gotong royong, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggung jawab dan lain – lain. Prinsip 5 M yang diperkenalkan oleh Daeng Soetigna yaitu Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Masal yang kemudian ditambahkan Meriah oleh Udjo Ngalagena, menjadikan alat musik ini banyak digemari terutama di mancanegara. Kecintaan Udjo terhadap kesenian sunda agaknya ingin ditularkan pada anak anak dilingkungan sekitarnya. Pemain yang sebagian besar adalah anak anak dari kampung sekitar Saung biasanya datang pada sore hari untuk bermain bersama temannya dengan bermain angklung. Mereka mendapat pelatihan angklung dan kesenian sunda lainnya tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeserpun, bahkan bila mengikuti pertunjukan mendapat honor bermain. Anak anak yang menjadi pemain di pertunjukan bambu petang tidak terlihat tegang atau merasa terpaksa, mereka bermain dengan lepas dan tanpa beban. Perasaan gembira yang timbul menunjukkan bahwa itu adalah bukan sekadar pertunjukan tetapi merupakan sarana untuk bermain dengan teman-temannya. Pengunjung seperti disuguhkan kegiatan bermain anak-anak yang spontan tanpa ada aturan harus begini
atau begitu. Terkadang gelak tawa terdengar dari pengunjung yang melihat kepolosan seorang anak bermain. Anak – anak menunggu giliran tampil Lingkungan sekitar merupakan pendukung akan maju dan berkembangnya
Saung Angklung Udjo, tetangga pengrajin alat musik dan anak anak SD hingga SMA sebagai pemain dalam pertunjukan merupakan faktor pendukung yang tidak dapat dihilangkan. Fasilitas yang terdapat di Saung Angklung antara lain “Paseban” yang digunakan sebagai tempat pertunjukan dan latihan kesenian budaya Sunda mampu menampung 500 pengunjung, Tepas atau halaman belakang yang dapat digunakan
sebagai tempat bermain atau sarapan pagi, tempat penjualan souvenir bahkan bagi tamu yang berminat untuk menginap disediakan Guest house. Tamu yang datang tidak perlu takut tidak mendapat tempat parkir, pelataran parkir yang luas dapat menampung hingga 15 bus pariwisata.
Program program / kegiatan SAUNG ANGKLUNG UDJO
Bamboo Petang
Bambu petang merupakan kemasan kemasan dari seni pertunjukan kesenian Sunda, khusus dirancang untuk keperluan turis mancanegara yang memiliki kesempatan/waktu yang singkat. Pada umumnya upacara tradisional memakan waktu
yang panjang dengan aturan yang ketat, tidak sesuai dengan kesempatan yang dimiliki para turis asing. Dengan mempertimbangkan kegiatan para turis yang mengunjungi tempat wisata Gunung Tangkuban Perahu dari pagi hingga pukul 14.30 maka Saung Udjo mengemas program yang padat dan berisi, yaitu pertunjukan rutin yang tiap hari dilaksanakan mulai pukul 15.30 hingga 16.30.
Peralatan musik yang digunakan dalam pertunjukan, sebagian mernggunakan bambu mungkin karena hal ini nama bambu petang digunakan. Bambu relatif ditemukan dibanyak daerah di Indonesia. Sebagian masyarakat memanfaatkan bambu sebagai bagian dari kebutuhan hidupnya, terutama didaerah pedesaan. Bambu dimanfaatkan sebagai bilik/dinding, lantai kamar, peralatan dapur dan lain – lain. Bahkan bambu muda/ rebung digunakan sebagai bahan makanan. Pertunjukan dimulai dengan alunan musik gamelan yang merdu dan harmonis. Pembawa acara memperkenalkan nama nama alat musik yang digunakan untuk pertunjukan gamelan. Berikut adalah rangkaian acara yang disuguhkan dalam bambu petang.
Demonstrasi Wayang Golek
Pertunjukan wayang golek ini hanya bersifat demonstrasi, pada pertunjukansesungguhnya dapat menghabiskan waktu lebih dari 7 jam sehingga tidak mungkin menampilkannya dengan kesempatan waktu turis mancanegara yang
terbatas. Demonstrasi hanya menampilkan bagaimana wayang golek berbicara, menari dan berkelahi di pertempuran. Selain itu ketika layar dibuka terlihatkan bagaimana dalang memainkan wayang dibalik layar, dengan ujung jempol
kakinya terikat pada kecrek, sibuk menghasilkan suara setiapkali adegan wayang bergerak dinamis. Dijelaskan bahwa tiap tiap individu wayang mewakilkan gambaran kehidupan manusia, ada yang memiliki sifat baik dan juga jahat. Dalam pertunjukan sebenarnya, secara prinsip selalu membawa pesan moral, agar kita berbuat baik pada sesama dan taat pada Pencipta. Siapapun yang berbuat baik akan menuai kebahagiaan dan barangsiapa yang berbuat kejahatan akan merasakan akibatnya.
Khitanan / Helaran
Dahulu di pedesaan ada sebuah tradisi untuk memberikan suatu hiburan bagi anak laki-laki yang hendak dikhitan, sehingga anak tersebut terhibur. Dalam pertunjukan ini, anak yang dikhitan diarak keliling kampung dengan duduk di
kursi khusus / jampana yang diangkat oleh 2 orang. Sementara itu teman-teman memberikan hiburan dengan menyanyi dan menari diringi dengan angklung tradisional, berlaraskan Salendro.
Arumba
Arumba adalah alat musik bambu yang diciptakan dan dimainkan dalam format band, namun tetap dapat menghasilkan nada-nada harmonis dan dinamis. Arumba baru muncul pada tahun 1970-an. Arumba sendiri merupakan singkatan dari Alunan RUMPUN Bambu
Tari Topeng
Tari yang disajikan adalah cuplikan dari pola-pola tarian klasik Topeng Kandaga. Tarian ini dibawakan oleh 3 anak perempuan. Tarian ini terbagi atas dua babak : Babak pertama (tanpa topeng), menceritakan Layang Kumintir,
pembawa berita untuk Ratu Kencana Ungu dari Majapahit, yang sedang menyelidiki keadaan di kerajaan Blambangan. Babak kedua (memakai topeng), Layang Kumintir menyamar menjadi seorang pria gagah perkasa untuk melawan Raja Menak Djinggo dari Blambangan
Angklung Mini
Angklung yang berukuran mini ini bukan sekedar pajangan, tetapi juga dapat dimainkan dengan lagu lagu yang sederhana. Beberapa lagu anak-anak yang cukup populer di banyak negara, termasuk di Indonesia dinyanyikan bersama pengunjung (Melati Kenanga dalam berbagai bahasa, The Song of Do Re Mi, Burung Kakatua).
Angklung yang berukuran mini
Angklung Padaeng
Angklung Padaeng adalah angklung yang berlaraskan Do-re-mi. Awalnya angklung yang asli kurang dikenal orang, tidak berlaras dan dipergunakan sebagai alat musik ritmis saja, namun setelah Bapak Daeng Soetigna (Alm) memodifikasi dalam laras Do-re-mi pada tahun 1938 angklung dapat digunakan untuk bermain lagu lagu nasional dan lagu asing. Dalam perkembangannya, angklung mulai dikenal secara luas oleh masyarakat, sebagai alat musik yang terbuat dari bambu
Bermain Angklung Bersama
Angklung memiliki dua tabung, yang besar dan yang kecil. Yang besar harus diletakkan di sebelah kanan, sedangkan yang kecil disebelah kiri. Pegang angklung pada bagian tengahnya dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang sebelah bawah angklung, goyangkan angklung maka akan terdengar suara yang merdu dari dua tabung angklung. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk memainkan angklung secara masal. Hand sign dan membaca Angka-angka dilayar adalah metode yang mudah dimengerti. Tiap pegunjung diberikan masing masing satu buah angklung yang memiliki angka angka tertentu dari 1 hingga 8, tiap angka memiliki hand sign tersendiri. Dirigen akan membawakan lagu dengan menggerakkan tangannya yang memiliki arti angka angka dan terbentuk sebuah lagu, pengunjung tinggal mengikuti hand sign dari dirigen.
Pembuatan dan pemilihan angklung berdasarkan pembuatnya
Musim Pengambilan Bambu Angklung yang dibuat dari musim pengambilan yang berbeda akan memiliki sifat bunyi yang berbeda. Angklung yang dibuat dari bambu yang dipetik pada musim panas akan lebih keras suaranya dan lebih stabil setemannya bila dibandingkan dengan yang diambil pada musim hujan, karena bambunya lebih kering. Namun demikian usianya tidak tahan lama karena lebih mudah pecah.
Angklung dan Pembuatnya |
No comments:
Post a Comment